Wednesday, May 16, 2012

Langkah awal Basel II untuk Risiko Kredit: Standardised Approach (SA)

Menurut SEBI No. 13/6/DPNP Februari 2011, Bank Indonesia (BI) baru berencana untuk menerapkan ketentuan Basel II untuk menghitung ATMR risiko kredit pada Januari 2012. Dalam Basel II terdapat 2 cara perhitungan ATMR risiko kredit yaitu melalui metode Standardized Approach/Pendekatan Standar (SA) dan Pendekatan dengan Rating Internal (IRBA).  Untuk penerapan tahap awal, Bank diwajibkan melakukan perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit dengan menggunakan Pendekatan Standar (SA).


Perhitungan ATMR dari beberapa klasifikasi portofolio kredit/fasilitas pada metode SA didasarkan pada  hasil rating dari perusahaan peratingan independen yang diakui Bank Indonesia (diantaranya Fitch, Pefindo, Moody atau S&P). Portofolio yang didasarkan pada rating antara lain adalah fasiitas/kredit pada pemerintah asing, entitas sektor publik, bank lain, lembaga internasional, pada korporasi dan kepemilikan atas surat berharga (sekuritas). Perhitungan yang berbasis rating tersebut menghasilkan bobot ATMR yang lebih sensitif terhadap tingkat risiko  daripada ketentuan pada Basel I.



Portofolio dengan rating yang lebih baik akan memiliki beban bobot  ATMR yang lebih kecil, contohnya Bank memberikan kredit pada korporasi yang memiliki rating AAA maka ATMR untuk fasiiltas tersebut adalah 20% sedangkan untuk korporasi dengan rating kurang dari BB- adalah 150% atau 100% apabila perusahaan tersebut tidak memiliki rating. Contoh lainnya fasilitas antar Bank seperti money market placement akan memiliki ATMR yang lebih rendah apabila ditempatkan pada Bank dengan rating yang baik.


Kondisi di atas mencerminkan bank dengan portofolio debitur atau counterparty dengan rating yang baik akan memiliki beban ATMR yang rendah sehingga memiliki ruang yang lebih luas bagi pertumbuhan alokasi  aktiva produktif. Pada sisi lain dari perspektif Bank itu sendiri apabila memiliki rating yang baik maka bank tersebut akan memiliki peluang yang lebih baik untuk dapat melakukan transaksi dengan bank lain atau menjadi daya tarik dalam mendapatkan pendanaan dari pihak lain.


Selanjutnya terdapat beberapa jenis asset atau portofolio kredit yang perhitungan ATMR-nya tidak didasarkan pada rating eksternal, antara lain adalah tagihan dengan cash collateral  dan tagihan pada Pemerintah RI baik rupiah maupun mata uang asing memiiki bobot ATMR 0%, menunjukkan tingkat risiko  yang rendah pada kategori tersebut.


Beberapa contoh lainnya, kredit beragun rumah tinggal (antara lain KPR) memilki bobot ATMR dari 35% sampai 45% tergantung dari rasio LTV (loan to value) yang merupakan perbandingan antara nilai kredit  dengan nilai agunan dari fasilitas tersebut. Kredit dalam kategori ritel memiliki bobot ATMR sebesar 75% dan sebesar 50% untuk kredit pada pensiunan. Sementara itu, kredit beragun properti komersial (seperti hotel, mall, dll) memiliki bobot ATMR sebesar 100%.


Pengukuran risiko kredit sesuai kerangka Basel II dengan pendekatan SA, dapat memperhitungkan faktor agunan dan proteksi kredit yang memenuhi persyaratan sebagai faktor mitigasi kredit. Bentuk agunan yang memenuhi persyaratan tersebut antara lain uang tunai (cash), deposito atau instrumen lainnya yang setara, emas, instrumen keuangan seperti SBI, SUN, surat berharga yang diperingkat lembaga pemeringkat yang diakui, reksadana, dan saham yang memiliki peringkat tertentu dan aktif diperdagangankan di pasar. Namun demikian pada umumnya bank belum berorientasi pada jaminan yang berupa instrumen keuangan yang mempunyai peringkat sesuai ketentuan yang berlaku sehingga pada pelaksanaannya, hendaknya perbankan mempersiapkan sejak dini metode penilaian (valuation) dan mekanisme pengikatan yang memadai atas agunan instrumen keuangan tersebut.


Pada sisi lain untuk melakukan implementasi Basel II pendekatan SA untuk risiko kredit secara sempurna juga memerlukan infrastruktur yang kokoh dari masing-masing bank. Infrastruktur tersebut antara lain mekanisme internal untuk melakukan penilaian secara berkala atas rating eksternal dari masing-masing counterparty, ketentuan maupun monitoring pelaksanaan kredit yang sesuai dengan krtiteria standardized approach seperti batasan LTV pada kredit beragun rumah tinggal, adanya prosedur yang sistematik mengenai penginputan data kredit dalam sistem internal bank maupun dalam Laporan Bank Umum (LBU) maupun sosialisasi atas ketentuan dan implikasi penerapan Basel II kepada seluruh pihak terkait.


Infrastruktur yang kurang kokoh akan berpotensi mengakibatkan dampak yang signifikan bagi penerapan SA, terutama pada kesalahan perhitungan ATMR contohnya apabila terjadi kesalahan pencatatan jenis agunan, nilai agunan atau pihak penjamin atas fasilitas kredit pada LBU atau pada sistem internal bank maka terdapat pengenaan bobot ATMR yang tidak sesuai dan bahkan dapat merugikan bank.





Hal tersebut antara lain, seperti kesalahan pencatatan nilai agunan rumah tinggal pada kredit non program sehingga rasio LTV berada di atas 80% dan akhirnya kredit memiliki bobot risiko 75% (seharusnya 35%). Contoh lainnya apabila tidak terdapat mekanisme dan sistem administrasi atas penilaian rating terkini dari counterparty bank maka hal tersebut kembali akan berpotensi mengakibatkan pengenaan bobot ATMR yang salah atau yang gtidak updateh atas fasilitas terkini yang diberikan.


Berdasarkan paparan di atas secara keseluruhan pemberlakuan Basel II pendekatan SA pada Januari 2012 akan memberikan implikasi stratejik yang cukup signifikan bagi keputusan ekspansi kredit. Penyaluran pada jenis kredit dengan bobot risiko rendah akan lebih menguntungkan bagi bank karena memberikan sisa ruang yang lebih luas pada modal bank dalam memenuhi ketentuan mengenai rasio kecukupan modal (CAR).


Pada dasarnya, penyaluran fasilitas kredit hendaknya memperhitungkan tingkat risk and return yang akan didapatkan sesuai dengan risk appetite (selera risiko) dari masing-masing bank sehingga penyaluran kredit pada aset berisiko tinggi sudah seharusnya memiliki tingkat pengembalian yang setara dimana sudah dipersiapkan terlebih dahulu mekanisme mitigasi risiko yang tepat. Namun demikian, risk appetite dari unit bisnis dalam sebuah bank sebagai risk taking unit pada akhirnya akan dibatasi oleh ketentuan kecukupan modal dalam menyerap risiko.


Dengan demikian risk appetite juga tetap harus memperhitungkan secara bijak manajemen portofolio kredit secara bank wide sehingga fungsi modal sebagai buffer dari risiko bisnis bank dapat digunakan secara optimal. Selain itu, penerapan Basel II standardized approach sudah seharusnya dilakukan secara komprehensif dengan dukungan infrastruktur yang memadai sehingga mekanisme perhitungan yang lebih sensitif pada Basel II dapat bermanfaat untuk meningkatkan akurasi pengukuran ATMR, CAR maupun potensi risiko sebuah bank sebagaimana mestinya.


0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More