Tuesday, January 1, 2013

Tools dalam Manajemen Risiko

Manajemen Risiko Finansial adalah proses untuk mendeteksi, identifikasi dan melakukan manajemen  terhadap potensi risiko finansial yang mungkin terjadi di kemudian hari.Salah satu aplikasi/penerapan proses manajemen risiko adalah adanya beberapa limit atau pembatasan atas aktivitas bisnis yang dilakukan seseorang atau sebuah perusahaan sehingga kerugian yang akan terjadi dapat diantisipasi atau setidaknya diminimalisir pada tingkatan yang masih dapat ditolelir.

Dalam manajemen risiko terdapat beberapa istilah limitasi untuk membatasi potensi kerugian antara lain istilah yang sering digunakan adalah :

Stop Loss Limit : Batasan untuk menghentikan (stopping) kegiatan bisnis (diantaranya menghentikan trading saham) apabila nilai kerugian telah melampaui batasan tertentu yang sudah ditetapkan sebelumnya. Contohnya trading saham untuk dihentikan apabila kerugian (penurunan nilai dari pembelian awal) telah mencapai 50 Juta.

Notional Limit : Limitasi terhadap jumlah maksimal yang akan diinvestasikan pada masing-masing posisi atau aset tertentu.
Contohnya sebuah bank skala kecil men-set limit untuk pembelian obligasi swasta dibatasi sampai dengan Rp. 900 juta, surat hutang negara Rp. 1.5 triliun, kredit komersial Rp. 3 Triliun, Kredit UKM Rp. 7 Triliun dsb. Bank tersebut akan menghentikan penyaluran kredit pada sektor komersial apabila telah mencapai Rp. 3 Triliun.

Exposur Limit : Limitasi terhadap eksposur risiko yang sesuai dengan masing-masing aset.
*eksposur risiko adalah suatu indikator/ukuran yang dapat dijadikan acuan untuk mencerminkan peningkatan/penurunan masing-masing nilai aset yang dimiliki.

Karena masing-masing aset memiliki karakteristik risiko yang berbeda maka setiap aset memiliki acuan jenis eksposur risiko yang berbeda-beda, contohnya  fixed income interest rate potensi risikonya kemungkinan (penurunan nilai asetnya) dapat diprediksi melalui perhitungan duration dan convexity, saham (ekuitas) melalui perhitungan Beta, Option melalui perhitungan delta dan gamma serta lain sebagainya.

Contoh eksposur limit adalah aktivitas trading suatu portofolio saham dihentikan pada saat beta portofolio tersebut terhadap market kurang dari 1.1.  

Mungkin sekian penjelasan singkat saya mengenai tools dalam manajemen risiko ^-^, mohon maaf apabila kurang jelas dan masih banyak isitlah yang perlu dijelaskan lebih lanjut. Untuk referensi lengkap dari Manajemen Risiko dapat dibaca dari mbahnya buku-buku ilmu manajemen risiko tulisan Phillipe Jorion. Garis besar dari tulisan di atas juga berdasarkan referensi dari buku beliau yang berjudul Value-at-Risk : The New Benchmarking for Managing Financial Risk, 3rd Edition (New York: McGraw-Hill, 2007). 


Wednesday, May 16, 2012

Langkah awal Basel II untuk Risiko Kredit: Standardised Approach (SA)

Menurut SEBI No. 13/6/DPNP Februari 2011, Bank Indonesia (BI) baru berencana untuk menerapkan ketentuan Basel II untuk menghitung ATMR risiko kredit pada Januari 2012. Dalam Basel II terdapat 2 cara perhitungan ATMR risiko kredit yaitu melalui metode Standardized Approach/Pendekatan Standar (SA) dan Pendekatan dengan Rating Internal (IRBA).  Untuk penerapan tahap awal, Bank diwajibkan melakukan perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit dengan menggunakan Pendekatan Standar (SA).


Perhitungan ATMR dari beberapa klasifikasi portofolio kredit/fasilitas pada metode SA didasarkan pada  hasil rating dari perusahaan peratingan independen yang diakui Bank Indonesia (diantaranya Fitch, Pefindo, Moody atau S&P). Portofolio yang didasarkan pada rating antara lain adalah fasiitas/kredit pada pemerintah asing, entitas sektor publik, bank lain, lembaga internasional, pada korporasi dan kepemilikan atas surat berharga (sekuritas). Perhitungan yang berbasis rating tersebut menghasilkan bobot ATMR yang lebih sensitif terhadap tingkat risiko  daripada ketentuan pada Basel I.



Portofolio dengan rating yang lebih baik akan memiliki beban bobot  ATMR yang lebih kecil, contohnya Bank memberikan kredit pada korporasi yang memiliki rating AAA maka ATMR untuk fasiiltas tersebut adalah 20% sedangkan untuk korporasi dengan rating kurang dari BB- adalah 150% atau 100% apabila perusahaan tersebut tidak memiliki rating. Contoh lainnya fasilitas antar Bank seperti money market placement akan memiliki ATMR yang lebih rendah apabila ditempatkan pada Bank dengan rating yang baik.


Kondisi di atas mencerminkan bank dengan portofolio debitur atau counterparty dengan rating yang baik akan memiliki beban ATMR yang rendah sehingga memiliki ruang yang lebih luas bagi pertumbuhan alokasi  aktiva produktif. Pada sisi lain dari perspektif Bank itu sendiri apabila memiliki rating yang baik maka bank tersebut akan memiliki peluang yang lebih baik untuk dapat melakukan transaksi dengan bank lain atau menjadi daya tarik dalam mendapatkan pendanaan dari pihak lain.


Selanjutnya terdapat beberapa jenis asset atau portofolio kredit yang perhitungan ATMR-nya tidak didasarkan pada rating eksternal, antara lain adalah tagihan dengan cash collateral  dan tagihan pada Pemerintah RI baik rupiah maupun mata uang asing memiiki bobot ATMR 0%, menunjukkan tingkat risiko  yang rendah pada kategori tersebut.


Beberapa contoh lainnya, kredit beragun rumah tinggal (antara lain KPR) memilki bobot ATMR dari 35% sampai 45% tergantung dari rasio LTV (loan to value) yang merupakan perbandingan antara nilai kredit  dengan nilai agunan dari fasilitas tersebut. Kredit dalam kategori ritel memiliki bobot ATMR sebesar 75% dan sebesar 50% untuk kredit pada pensiunan. Sementara itu, kredit beragun properti komersial (seperti hotel, mall, dll) memiliki bobot ATMR sebesar 100%.


Pengukuran risiko kredit sesuai kerangka Basel II dengan pendekatan SA, dapat memperhitungkan faktor agunan dan proteksi kredit yang memenuhi persyaratan sebagai faktor mitigasi kredit. Bentuk agunan yang memenuhi persyaratan tersebut antara lain uang tunai (cash), deposito atau instrumen lainnya yang setara, emas, instrumen keuangan seperti SBI, SUN, surat berharga yang diperingkat lembaga pemeringkat yang diakui, reksadana, dan saham yang memiliki peringkat tertentu dan aktif diperdagangankan di pasar. Namun demikian pada umumnya bank belum berorientasi pada jaminan yang berupa instrumen keuangan yang mempunyai peringkat sesuai ketentuan yang berlaku sehingga pada pelaksanaannya, hendaknya perbankan mempersiapkan sejak dini metode penilaian (valuation) dan mekanisme pengikatan yang memadai atas agunan instrumen keuangan tersebut.


Pada sisi lain untuk melakukan implementasi Basel II pendekatan SA untuk risiko kredit secara sempurna juga memerlukan infrastruktur yang kokoh dari masing-masing bank. Infrastruktur tersebut antara lain mekanisme internal untuk melakukan penilaian secara berkala atas rating eksternal dari masing-masing counterparty, ketentuan maupun monitoring pelaksanaan kredit yang sesuai dengan krtiteria standardized approach seperti batasan LTV pada kredit beragun rumah tinggal, adanya prosedur yang sistematik mengenai penginputan data kredit dalam sistem internal bank maupun dalam Laporan Bank Umum (LBU) maupun sosialisasi atas ketentuan dan implikasi penerapan Basel II kepada seluruh pihak terkait.


Infrastruktur yang kurang kokoh akan berpotensi mengakibatkan dampak yang signifikan bagi penerapan SA, terutama pada kesalahan perhitungan ATMR contohnya apabila terjadi kesalahan pencatatan jenis agunan, nilai agunan atau pihak penjamin atas fasilitas kredit pada LBU atau pada sistem internal bank maka terdapat pengenaan bobot ATMR yang tidak sesuai dan bahkan dapat merugikan bank.





Hal tersebut antara lain, seperti kesalahan pencatatan nilai agunan rumah tinggal pada kredit non program sehingga rasio LTV berada di atas 80% dan akhirnya kredit memiliki bobot risiko 75% (seharusnya 35%). Contoh lainnya apabila tidak terdapat mekanisme dan sistem administrasi atas penilaian rating terkini dari counterparty bank maka hal tersebut kembali akan berpotensi mengakibatkan pengenaan bobot ATMR yang salah atau yang gtidak updateh atas fasilitas terkini yang diberikan.


Berdasarkan paparan di atas secara keseluruhan pemberlakuan Basel II pendekatan SA pada Januari 2012 akan memberikan implikasi stratejik yang cukup signifikan bagi keputusan ekspansi kredit. Penyaluran pada jenis kredit dengan bobot risiko rendah akan lebih menguntungkan bagi bank karena memberikan sisa ruang yang lebih luas pada modal bank dalam memenuhi ketentuan mengenai rasio kecukupan modal (CAR).


Pada dasarnya, penyaluran fasilitas kredit hendaknya memperhitungkan tingkat risk and return yang akan didapatkan sesuai dengan risk appetite (selera risiko) dari masing-masing bank sehingga penyaluran kredit pada aset berisiko tinggi sudah seharusnya memiliki tingkat pengembalian yang setara dimana sudah dipersiapkan terlebih dahulu mekanisme mitigasi risiko yang tepat. Namun demikian, risk appetite dari unit bisnis dalam sebuah bank sebagai risk taking unit pada akhirnya akan dibatasi oleh ketentuan kecukupan modal dalam menyerap risiko.


Dengan demikian risk appetite juga tetap harus memperhitungkan secara bijak manajemen portofolio kredit secara bank wide sehingga fungsi modal sebagai buffer dari risiko bisnis bank dapat digunakan secara optimal. Selain itu, penerapan Basel II standardized approach sudah seharusnya dilakukan secara komprehensif dengan dukungan infrastruktur yang memadai sehingga mekanisme perhitungan yang lebih sensitif pada Basel II dapat bermanfaat untuk meningkatkan akurasi pengukuran ATMR, CAR maupun potensi risiko sebuah bank sebagaimana mestinya.


Basel II di Indonesia


Bank Indonesia optimis pada 2012 Basel II sudah bisa diterapkan pada perbankan di seluruh Indonesia," ujar Halim Alamsyah


Petikan kalimat diatas menunjukkan bahwa otoritas moneter Nasional (BI) sudah sangat yakin bahwa road map penerapan kebijakan Basel II dapat diimplementasikan secara penuh pada tahun 2012. Setelah sempat tertunda, penerapan Basel II sudah mulai di lanjutkan kembali oleh BI sejak awal 2010. Perbankan nasional akhirnya mendapatkan pekerjaan rumah dalam mempersiapkan infrastruktur penerapan Basel II yang bertujuan meningkatkan keamanan dan kesehatan sistem keuangan, dengan fokus utama pada perhitungan permodalan yang berbasis risiko.


Pengertian Basel II


Basel capital accord merupakan seperangkat peraturan yang dirancang untuk menjaga industri perbankan pada suatu negara agar tetap bisa berjalan dan terkelola dengan baik. Fungsi utama bank sebagai lembaga resmi intermediasi dana membuat Bank menerima kepercayaan untuk mengelola dan mengalokasikan kelebihan dana dari masyarakat. Dana masyarakat dalam jumlah besar mengalir dalam setiap sendi siklus bisnis Bank, sedangkan di sisi lain Bank memiliki keterbatasan modal (ekuitas) untuk menyerap/bertanggung jawab atas risiko kegagalan pengelolaan dana tersebut.


Oleh karena  itu, pada dasarnya perbankan merupakan industri yang dihadapkan pada risiko bisnis yang tinggi. Kegagalan dalam mengelola bank tidak hanya akan merugikan nasabah namun juga akan berpotensi mengacaukan sistem perekonomian sebuah negara mengingat sangat tergantungnya lalu lintas arus dana pada sistem perbankan. Dengan demikian untuk meningkatkan aspek prudential (keamanan) dalam bisnis perbankan maka dibutuhkan metode, regulasi atau standarisasi yang memadai untuk mengelola risiko tersebut.


Basel II sebagai acuan pelaksanaan manajemen risiko bagi perbankan internasional merupakan suatu hasil dari evolusi regulasi perbankan dunia. Dimulai dengan pembentukan The Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) pada tahun 1974 oleh Gubernur Bank Sentral negara-negara G-10 dan mengeluarkan aturan International Convergence of Capital Measurement and Capital Standards atau Basel I yang diimplementasikan pada perbankan Indonesia pada tahun 1992. Basel I mensarikan adanya benang merah antara risiko bisnis dan modal yang harus disediakan Bank untuk mengantisipasi risiko tersebut.


Perhitungan rasio kecukupan modal atau biasa disebut CAR dilakukan dengan cara membagi modal bank (ekuitas) dengan risiko yang melekat (inheren) pada aktiva yang dimiliki bank atau biasa disebut ATMR baik yang tercatat dalam neraca maupun tidak (off balance sheet). ATMR itu sendiri adalah besarnya risiko yang melekat pada setiap porsi aset yang dimiliki oleh bank. Standarisasi mengenai perhitungan ATMR inilah yang menjadi salah satu pokok pembahasan utama dalam Basel. Adapun aktiva tentunya merupakan gambaran umum mengenai aktivitas bisnis yang dilakukan oleh bank seperti KYD, trade finance, bank garansi atau aktifitas bisnis lainnya.


Namun demikian, Basel I hanya terfokus pada antisipasi atas risiko kredit dari kegagalan bisnis yang dilakukan oleh bank sementara perkembangan dalam sistem keuangan dan perbankan menunjukkan bahwa banyak Bank yang gagal atau tutup diakibatkan oleh risiko pasar, operasional maupun jenis risiko lainnya.


Seiring dengan perkembangan sistem keuangan yang semakin kompleks, volume dan jenis-jenis risiko yang dihadapi bank juga mengalami peningkatan. Bank membutuhkan teknik baru yang lebih akurat dalam menghitung kebutuhan modal yang lebih sesuai dengan profil risiko Bank. Mengantisipasi tuntutan tersebut, Basel Committee mengeluarkan Market Risk Amendments Januari 1996 dengan memasukkan unsur risiko pasar.


Selanjutnya Basel Committee melakukan finalisasi dokumen International Convergence of Capital Measurement and Capital Standards -- a Revised Framework pada bulan Juni 2004 sebagai standar permodalan baru yang selanjutnya lebih dikenal sebagai Basel II yang juga mengikutsertakan perhitungan risiko operasional dan penyempurnaan pada metode perhitungan risiko kredit. Selain itu Basel II juga memperkenalkan identifikasi pada jenis risiko lainnya antara lain seperti risiko reputasi, risiko stratejik serta risiko bisnis.


Dengan demikian, salah satu muatan utama dalam Basel II adalah merumuskan kembali perhitungan ATMR sehingga dapat lebih akurat mengukur risiko yang dimiliki oleh sebuah bank secara lebih komprehensif baik dari sisi risiko kredit, pasar maupun operasional.


Secara singkat, dari sisi nasabah, Basel II bisa diartikan sebagai salah satu bentuk regulasi perlindungan konsumen untuk memastikan bahwa nasabah menempatkan dana pada bank yang aman. Aman disini antara lain memiliki pengertian: Bank tidak seenaknya/serampangan dalam menyalurkan kredit, memiliki perhitungan yang memadai untuk mengantisipasi pergerakan indikator pasar keuangan,  atau tidak melakukan kesalahan-kesalahan operasional yang bisa merugikan bank maupun nasabah.


Dalam metodologi perhitungan rasio kecukupan modal, Basel II menawarkan beberapa alternatif cara perhitungan ATMR dari model yang sederhana sampai model yang rumit. Metodologi perhitungan tersebut akan disesuaikan dengan kompleksitas usaha serta profil risiko masing-masing bank. Namun demikian, kesiapan dari penerapan metodologi tersebut akan ditentukan oleh Bank Sentral dari masing-masing negara. Selanjutnya dalam paparan singkat ini akan dibahas mengenai penerapan Basel II untuk Risiko Kredit menurut frame work Bank Indonesia (mengingat dokumen Basel II dari BIS mempersilahkan adanya diskresi dari masing-masing Bank Sentral untuk menyesuaikan implementasi Basel II yang sesuai dengan kondisi setiap Negara).

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More